Sebelum menggunakan liveness detection berbasis AI, perusahaan telah mengandalkan manusia untuk melakukan pemeriksaan liveness. Misalnya, selama onboarding jarak jauh, pelanggan akan diminta untuk menunjukkan ID foto mereka pada panggilan video untuk memvalidasi keberadaan fisik orang di ID tersebut. Namun proses ini tentunya lebih lambat, mahal, dan rawan terhadap kesalahan.
Gagasan tentang liveness detection dalam verifikasi biometrik wajah muncul sejak Dorothy E. Denning, anggota National Cyber Security Hall of Fame menciptakan istilah liveness pada tahun 2001 dalam Information Security Magazine Article: It’s “liveness,” not secrecy, that counts. Seiring berjalannya waktu, teknologi liveness detection pun semakin berkembang. Teknologi di balik liveness detection didasarkan pada pengenalan informasi fisiologis sebagai tanda adanya kehidupan. Secara historis, algoritme liveness telah dilatih untuk mengidentifikasi gerakan kepala, pelebaran pupil subjek, perubahan ekspresi, dan respons fisik lainnya.
Generasi pertama teknologi liveness detection wajah adalah liveness detection aktif. Liveness detection aktif bergantung pada gerakan pengguna dalam menanggapi tantangan seperti mengangguk, berkedip, tersenyum, atau memposisikan wajah seseorang dengan benar dalam bingkai. Meskipun teknologi liveness detection aktif efektif dalam mendeteksi spoof, namun teknologi ini memungkinkan adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh penipu untuk mempelajari dan mengelabui sistem dalam proses verifikasi. Sebagai upaya untuk menciptakan pembelajaran mesin yang lebih baik, maka liveness detection pasif hadir sebagai generasi kedua yang dapat menjadi solusi untuk proses verifikasi yang lebih mudah dan aman bagi pengguna.
Fitur Liveness Detection
Dengan berkembangnya teknologi identifikasi biometrik, maka penggunaan teknologi liveness detection pun semakin populer. Untuk meningkatkan keamanan biometrik, teknologi liveness detection dan metode anti-spoofing pun perlu ditingkatkan. Kini, kamera 3D telah digunakan untuk identifikasi biometrik. Hal ini memungkinkan sistem untuk mendeteksi saat foto atau replika, termasuk cetakan 3D, topeng dan deepfake, sedang digunakan. Teknologi ini meningkatkan keamanan tanpa menuntut upaya ekstra dari pengguna. Pembelajaran AI juga digunakan untuk meningkatkan keamanan biometrik yang dapat membantu mengurangi tingkat penolakan palsu. Pengujian reflektansi kulit (skin reflectance testing) dan forward learning merupakan dua teknik yang digunakan untuk meningkatkan teknologi anti-spoofing dan membantu meningkatkan model dengan cepat.
Dalam proses verifikasi dengan liveness detection, setelah sistem berhasil memverifikasi bahwa pengguna memang benar-benar orang yang hidup, maka selanjutnya adalah menentukan apakah mereka adalah orang yang diautentikasi dengan benar menggunakan perangkat lunak biometrik wajah. Tujuan pengujian liveness ialah untuk menentukan apakah biometrik yang diambil merupakan pengukuran aktual dari orang yang tepat dan hidup pada saat proses berlangsung. Metode autentikasi ini lebih efisien dan aman dengan pengalaman yang menyenangkan tanpa gesekan bagi pengguna.
Beeza merupakan perusahaan penyedia solusi sistem integrasi yang dapat membantu anda melakukan verifikasi, identifikasi dan autentikasi dengan aman dan nyaman dengan menggunakan teknologi liveness detection. Produk dan solusi dari BeezaD memiliki kelebihan dalam sistem biometrik yang akurat. Segera hubungi kami untuk informasi dan pemesanan.